Indonesia di Persimpangan Jalan Bonus Demografi

By Admin

nusakini.com--Bonus demografi merupakan potret penduduk usia kerja dimana penduduk usia produktif (15 tahun sampai dengan 64 tahun) lebih banyak daripada penduduk usia tidak produktif (kurang dari 15 tahun dan lebih dari 65 tahun), atau dengan ratio ketergantungan kurang dari 0,5. Sedangkan, penduduk usia produktif terdiri atas Angkatan Kerja (AK) dan Bukan Angkatan Kerja (BAK). Angkatan kerja juga merupakan penduduk yang bekerja dan produktif, maka mereka menjadi jendela kesempatan (the window of opportunity) kemajuan perekonomian bangsa. 

Bonus demografi layaknya suatu situasi di jalan persimpangan tiga. Jika bonus demografi berbelok kanan, maka akan menuju "the window of opportunity" (jendela kesempatan) yang memberikan segudang manfaat terutama terhadap kondisi perekonomian negara. Namun jika berbelok kiri, maka akan menuju "the door of disaster" (pintu bencana). Hal ini disampaikan Kepala Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang), Sugiarto Sumas di Jakarta, Senin (25/7). 

"Bonus demografi sesungguhnya sebuah stimulan yang bersifat netral. Bonus demografi baru akan menjadi stimulan positif apabila penduduk usia produktifnya memiliki produktivitas yang tinggi," ujarnya. 

Menurutnya, hal tersebut ditandai dengan tingginya Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan kualitas Angkatan Kerja (AK). Selain itu juga dapat dilihat dari adanya kesempatan kerja yang layak dari hasil hubungan industrial yang harmonis dan sehat sehingga tercipta iklim usaha dan berusaha yang menarik bagi investor dalam dan luar negeri.  

Sebaliknya, apabila dalam masa bonus demografi tersebut produktivitas tenaga kerja mengalami stagnan bahkan menurun, maka dapat dipastikan bonus demografi ini akan menjadi bencana. Dengan kondisi ini, dapat dipastikan daya saing industri/produksi dalam negeri menurun, pertumbuhan perekonomian bangsa akan menurun, perusahaan industri dalam negeri tidak kompetitif dan merugi kemudian tutup, pemutusan hubungan kerja meningkat, angka pengangguran meningkat, pelanggaran hukum meningkat, gejolak sosial meningkat, dan negara akan chaos dan runtuh.  

Mengutip Profesor Sri Moertiningsih Adioetomo, Kabarenbang memaparkan bahwa masa waktu bonus demografi di Indonesia terjadi mulai tahun 2015 hingga tahun 2035, dengan puncaknya pada tahun 2030 saat ratio ketergantungan mencapai titik terendah sebesar 0,469. Namun, jika di lihat setiap provinsi maka sebagian provinsi mengalami bonus demografi lebih awal, sebagian lagi mengalami belakangan.  

Sedangkan provinsi yang lebih awal mengalami masa waktu bonus demografi adalah Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan puncaknya pada tahun 2010 sebesar 0,374, disusul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan puncaknya tahun 2015 sebesar 0,449, Jawa Timur dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,436 dan Jawa Tengah dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,477, Sulawesi Utara dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,464, dan Gorontalo dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,475, serta Bali dengan puncaknya tahun 2025 sebesar 0,422.  

Provinsi yang mengalami puncak bonus demografi bersamaan waktunya dengan nasional pada tahun 2030 adalah Papua sebesar 0,416, Kalimantan Timur sebesar 0,431, Bengkulu sebesar 0,443, Kalimantan Selatan sebesar 0,447, Jawa Barat sebesar 0,462, Sulawesi Tengah sebesar 0,486, dan Sulawesi Selatan sebesar 0,495.  

Sementara provinsi yang mengalami puncak bonus demografi belakangan masa waktunya dari nasional yakni pada tahun 2035 adalah Kepulauan Riau sebesar 0,379, Kalimantan Tengah sebesar 0,399, Banten sebesar 0,410, Jambi sebesar 0,427, Bangka-Belitung sebesar 0,431, Papua Barat sebesar 0,437, Sumatera Selatan sebesar 0,453, Lampung sebesar 0,453, Aceh sebesar 0,458, Riau sebesar 0,466, Kalimantan Barat sebesar 0,466, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 0,481. 

Menariknya, terdapat 7 provinsi yang tidak pernah mengalami masa bonus demografi hingga tahun 2035, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara. Sebaliknya, terdapat 10 provinsi yang selalu mengalami masa bonus demografi sejak tahun 2010 hingga tahun 2035, yaitu: Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.  

Keadaan-keadaan ini, belum diketahui penyebab utamanya. Namun, diperkirakan kelompok 7 provinsi yang belum pernah mengalami masa bonus demografi disebabkan oleh budaya merantau, sedangkan untuk kelompok 10 provinsi yang selalu mengalami masa bonus demografi karena banyaknya pendatang dari provinsi lain untuk bekerja maupun mencari pekerjaan.  

"Sebenarnya tidak terlalu persoalan adanya perbedaan masa bonus demografi antar provinsi sebagaimana tersebut di atas, sebab bonus demografi hanya stimulus yang bersifat netral. Tetapi menjadi persoalan besar apabila adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja, sebab produktivitas tenaga kerja tidak hanya bersifat netral bila tidak ada perubahan, tetapi dapat bersifat positif apabila berubah naik atau bahkan dapat negatif apabila berubah turun," imbuhnya. 

Untuk mengantisipasi persoalan besar sebagaimana disebutkan di atas, maka setiap provinsi harus menyadari betul, bahwa ketika mengalami masa bonus demografi mutlak disertai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Jika tidak, maka sudah dapat dipastikan bukannya bonus demografi akan menjadi the door of disaster.  

"Menyadari betapa pentingnya peningkatan produktivitas tenaga kerja untuk mengisi masa waktu bonus demografi setiap provinsi, maka demi efektivitasnya harus dilakukan melalui Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pusat dan daerah, serta seluruh sektor perekonomian, dibawah koordinasi Kementerian Ketenagakerjaan RI," pungkas Kabarenbang. (p/ab)